Jumat, 23 Desember 2011

KEHIDUPAN INI..

6 April 1988 hari rabu wage adalah hari dimana nyawa seorang ibu dipertaruhkan. Sutimah sebuah nama sederhana seperti pengambaran kehidupannya yang juga sangat sederhana namun mempunyai hati yang sampai sekarang belum pernah ada duanya aku temui di dunia ini. Hati yang begitu sabar, tulus, dan menyejukkan, dimana setiap kali aku mengingat pengorbanannya tak pernah aku dapat menahan tetesan air mata dari kedua mataku, bahkan untuk saat aku menulis ini. Radji bapakku adalah seorang bapak yang bertanggung jawab atas keluarga yang dipimpinnya,. Sandang, pangan, papan untuk keluarga kami selalu beliau perjuangkan. Semua nasehat yang keluar dari lidahnya adalah benih kebaikan yang ditanam dalam diri setiap anak - anaknya.

Pagi itu, Selasa 5 April 1988 dengan hati – hati bapak mengantar ibu ke bidan desa, karena ibu merasakan kandungannya yang sudah berusia 9 bulan terasa sakit, ibu pernah bercerita bahwa sakitnya melebihi waktu – waktu dulu ketika ketiga kakakku akan dilahirkan, dan hari – hari saat mengandungku pun lebih berat dari kandungan sebelumnya. Kakaku Endah, Eko, Dewi, aku tidak tahu persis berapa umur mereka dan apa yang sedang mereka kerjakan ketika detik – detik kelahiranku itu.

Bu Yani bidan desa satu – satunya saat itu tahun 1988 di desaku, yang diharapkan dapat membantu kelahiranku. Namun, tak seperti yang diharapkan setelah ibu diperiksa kandungannya oleh bu Yani, beliau menyatakan tidak sangup membantu kelahiran ku, mungkin karena keadaan ibu yang sudah lemah dan peralatan medis seorang bidan desa yang saat itu belum lengkap. Sehingga bu yani memutuskan untuk memberikan rujukan kepada ibuku ke rumah sakit kediri yang sekarang bernama Rumah Sakit Gambiran, tak tahu kenapa saat itu rumah sakit kediri yang dipilih. Padahal rumah sakit itu berjarak sekitar 40km dari desaku, dan aku yakin ada puskesmas saat itu di kecamatan, apa karena memang saat itu ibu dalam kondisi yang lemah??. Bahkan saat sekarang ini saja untuk ke Kediri dari rumah bisa menghabisakan waktu 2 jam, aku tidak bisa membayangkan untuk saat itu, dimana fasilitas jalan, transportasi yang belum seperti saat sekarang ini. Kenapa harus begitu jauh, padahal keadaan ibu yang sudah lemah, karena kandungannya. Ibu pernah bercerita tentang itu, kondisi saat itu dan suasana saat itu. Semua panik “ribut” begitu juga bapakku, untuk menuju ke kediri ibu pernah bercerita kala itu mengunakan mikrolet (Angkutan Pedesaan), jangan dibayangkan seperti angkot yang sekarang sering kita temui, keadaanya tentunya jauh lebih buruk dari itu, kondisi jalan yang tak sebaik sekarang. Saat itu pun semua panik, ribut. Untuk ke kediri bapak tidak lagi sendiri mengantar ibu ke rumah sakit, namun di temani kakak kandung ibu, yang sekarang menjadi tante, atau mbok de seperti itu sampai sekarang aku memangilnya. Tak hanya bapak yang merasa panik, tapi semua yang ikut mengantar ke kediri merasa panik, ribut. Tak pernah ku tanyakan berapa waktu yang di butuhkan dalam perjalanan ke Kediri, yang aku tahu cerita bahagia setelah perjalanan ke kediri yang tak bisa dibayangkan dan pertaruhan nyawa ibu yang begitu berat.

Rabu wage 6 April 1988 pukul 02.00 WIB, sosok bayi laki – laki dengan berat sekitar 3 kilo telah dilahirkan dengan normal, semuanya bahagia karena ibu dan bayi sehat dan selamat. Sebelum pulang ke rumah, kedua orang tuaku sepakat  memberikan nama kepada bayi itu RIBUT WYLLI SUSMONO. Ribut adalah nama pemberian kedua orang tuaku yang mengambarkan betapa paniknya saat – saat kelahiranku yang tak cukup dengan dibantu bidan desa saja, tak seperti kakak – kakak ku yang telah lahir sebelumnya. Wylli adalah nama pangilan di rumah, bukan Wylli mereka memangil tapi weli. Nama ini pemberian dokter di RS. Gambiran, sebenarnya mungkin yang dimaksud adalah Willy, namun petugas pembuat akta kelahiran salah dalam penulisan sehingga sampai sekarang kadang teman – teman sering protes tentang penulisan nama tengahku itu, tapi hal itu tak pernah menjadi masalah. Susmono, untuk nama terakhirku ini aku tak pernah menanyakan apa arti dibalik kata itu, yang aku tahu sebenarnya kata susmono itu hampir mirip seperti nama terakhir yang diberikan kepada kakaku ke dua yaitu Susanto. Mungkin itu hanya tambahan saja yang muncul begitu saja di pikiran kedua orang tuaku pada saat pemberian namaku, atau seperti apa aku juga belum tahu.... Sejak itulah aku dilahirkan dengan nama itu dan tak pernah protes sekalipun dengan namaku yang mungkin terdengar tak biasa. Sebaliknya aku begitu bangga, mungkin melebihi rasa bangga kalian kepada nama kalian..

Sejak itu aku di besarkan di rumah, rumah yang sederhana yang berdinding anyaman bambu yang dilingkunganku disebut gedek guling, dan berlantai tanah, bersama keluargaku yang berisi bapak, ibuk dan tiga kakakku. Bapak seorang petani yang waktu mudanya hanya bermodalkan sepetak sawah milik ibunya (mbah putri). Dan disela – sela waktu luangnya beliau menjadi seorang tukang kayu, aku mengakui beliau sangat kreatif dalam mendisain, dan jiwa seni mengalir dalam darahnya, bahkan suatu waktu bapak rela menjadi buruh tani demi menghidupi keluarga. Ibu adalah seorang guru SD di SDN 1 Sumberagung, SD yang jaraknya sekitar 5km dari rumah. Dan saat itu beliau bekerja juga mencari penghasilan tambahan dengan menjahit, dengan mesin jahit milik bapaknya (mbah nang begitu aku memangilnya), bukan berarti ibu membiarkan bapak sendirian mengurus sawah, tak jarang ibu juga terjun sendiri ke sawah membantu bapak. Semua tumbuh dan menyatu menjadi keluarga yang bahagia meskipun hidup dalam kesederhanaan, sangat sederhana. Aku tak ingat semuanya, yang ku ingat adalah ketika aku sudah berumur sekitar 4 atau 5 tahun saat – saat akan menginjak sekolah TK. Namun banyak cerita yang dibagi dan disampaikan ibu dan bapak kepadaku ketika aku tumbuh dari usia 1hari sampai 5tahun, aku masih ingat cerita itu sangat sering disampaikan saat semua anggota keluarga berkumpul saat menjelang malam tiba, memang kami sering menghabiskan jam – jam malam untuk berkumpul, dan bercerita sebelum aku dan kakak – kakakku tidur, tidak ada TV atau radio yang menemani, karena memang hanya waktu itulah bapak dan ibu bisa mencurahkan semua waktunya. Selain waktu – waktu itu beliau menghabiskan untuk bekerja keras menghidupi keluarga, bahkan yang aku tahu setelah anak – anaknya tertidur ibu yang dibantu bapak masih menyempatkan untuk menjahit pakaian pesanan orang lain atau sekedar membuat pakaian untuk anak - anaknya. Pakaian anak – anak nya yang dibuat dari sisa kain dari perca yang masih bisa di potong menjadi pola pakaian anak – anak. Aku sayang kalian buk, pak... Demi Allah aku sangat sayang keluargaku yang begitu sederhana. Tentunya bukan hanya aku yang merasakan itu, mas eko atau di pangilnya santo dirumah, mbak dewi atau dipangil dewi dan mbak endah juga pasti merasakan itu, merasakan kasih sayang dan perjuangan. Aku sangat yakin..

Aku tumbuh dan dibesarkan di keluarga ini, keluarga bapak Radji, keluarga yang sangat aku cintai. Keluarga yang selalu memberikan arti sebuah kesederhanaan. Aku tahu perjuangan ibu dan bapak sejak aku lahir dan tumbuh menjadi besar, ibu sering bercerita masa – masa dimana aku belum dilahirkan, bahkan masa – masa dimana ibu masih menempuh pendidikan untuk menjadi seorang guru. Aku baru sadar, bahwa cerita  itu semua adalah cerita hidup, cerita motivasi seorang ibu dan bapak kepada anak- anaknya. Cerita yang memiliki arti penting, dan menjadi dasar dalam melakukan apapun. Cerita yang menanamkan kesederhanaan, kesabaran, keuletan, dan ketabahan...

Aku terus tumbuh menjadi besar, beruntung karena sejak aku lahir setelah ibu memberikan ASI aku juga diberi susu kaleng. Hal yang mewah bagi pasangan seorang petani dan guru SD yang jabatanya masih baru. Ada cerita lucu dibalik itu, ketika masih kecil ibu bercerita bahwa aku sering mengambil susu tanpa sepengetahuan ibu, susu itu langsung masuk mulut tanpa diseduh, nakal seperti itu ibu menyebutnya. Menyesal sekarang setelah tahu bagaimana dahulu ibu harus membagi pemasukan yang tidak seberapa yang beliau dapat, dengan pengeluaran yang ada. Maafkan aku buk...

Dalam salah satu nasehatnya ibu dan bapak mengatakan bahwa beliau selau menyisihkan pendapatan yang beliau dapat untuk tabungan. Hal ini penting selain untuk memperbaiki perekonomian, juga untuk kebutuhan kakak – kakakku yang sudah mulai sekolah. Hal ini juga yang membuat perekonomian semakin membaik, semua bidang pekerjaan yang di tekuni ibuk dan bapak seperti sawah, menjahit, menjadi guru dan menjadi tukang kayu sedikit demi sedikit memberikan pemasukan, walau tidak banyak. Aku yakin hal ini juga dibarengi dengan managemen keuangan ibu yang ketat. Ibu sangat pandai mengatur keuangan, tanpa harus menempuh sekolah di bidang itu. Semua terasah karena keadaan. Ibuk menyebutnya tak lagi irit tapi mlirit (lebih dari sekedar irit), semua dilakukan demi cita – cita dan tuntutan keadaan. Uang yang terkumpul tidak langsung dijadikan dan dibelanjakan menjadi barang yang nantinya akan sia – sia, namun semua butuh perhitungan, dengan matang. Satu waktu beliau (bapak dan ibuk) sepakat ‘menukarkan’ tabunganya menjadi sepetak sawah. Hal itu dijadikan modal untuk melangkahkan kaki lebih lebar.

Aku tumbuh di keluarga ini dari sejak Rabu 6 April 1988 sampai saat umurku menginjak 5 tahun, dimana aku mulai masuk sekolah taman kanak kanak, aku sekolah di TK Dharma wanita 1 desa Balonggebang. TK ini terletak tidak jauh dari rumah, hanya sekitar 100 meter dari rumah. TK yang sampai sekarang masih berdiri yang menjadi bangku sekolah pertama bagi adik – adik di desa Balonggebang. Setiap akan berangkat sekolah ibu selalu memberikan sarapan pagi seadanya, sekedar untuk menjadikan kenyang, itu selalu ibu lakukan, dan tak lupa memberikan uang saku 50 rupiah, cukup untuk bekal makan siang atau jajan. Ketika aku TK, mas Eko dan Mbak Dewi sudah duduk di bangku SD, sedangkan mbak Endah duduk di bangku SMP (sekarang SLTP).

TK ini yang sedikit banyak memberikan andil dalam membentuk karakterku, memberi pondasi dalam dunia pendidikan ku. Selain juga ibuk dan bapak, merekalah orang – orang yang lebih berperan membentuk karakterku, emosiku, jiwaku, watakku, pola pikir dan kebiasaanku. Semua yang diberikan mereka adalah benih – benih yang baik, benih – benih yang berusaha ku sirami untuk dapat terus berkembang dan berbuah. Dua tahun ku habiskan untuk ku belajar di TK Dharma Wanita 1 ini, teman – teman yang juga tetanggaku menjadi teman menghabiskan masa kecilku. Diantaranya Anam, Wahuyu, Antok, yusuf, imbrawati mereka teman – teman yang baik. Dibesarkan di lingkungan yang sama dan berlatar belakang sama. Tak ada prestasi yang membanggakan yang bisa ku raih dan kupersembahkan untuk ibu dan bapak selama duduk di sekolah TK ini. Kecuali bisa menjadi peserta tim menari yang berjumlah 6 anak pada acara Agustusan di panggung yang berada di depan kantor desa Balonggebang, tepat disamping rumahku. Dan juga ikut dalam acara karnaval Agustusan yang diadakan di kecamatan Gondang, sayangnya semua foto yang di ambil dengan tustel dari tukang foto yang bermaksud untuk kenag - kenangan semuanya tak dapat di cetak karena rusak. Tidak ada kenang – kenangan, tidak ada prestasi. Malah pada waktu TK aku susah menghafal urut – urutan angka, aku masih ingat selalu salah di urutan angka 26. Setelah berhasil mengucapkan angka 1 sampai 25, pasti angka 26 salah, bahkan memilih diam yang berarti tak bisa melanjutkan dan memilih nangis. Lucu memang...., namun aku dulu pandai mengambar, aku yakin itu adalah sedikit darah seni dan kreatifitas dari bapak yang mengalir dalam tubuhku. Namun tetap saja belum ada yang aku bisa raih dari kemampuanku itu.

Keluarga ini masih tetap sederhana dan prihatin, meskipun sedikit demi sedikit bapak dengan kemampuannya membenahi ruang – ruang di rumah sehingga nampak sedikit rapi. Melepas dinding dari bambu dan mengantinya setengah dengan papan kayu yang dibeli dengan uang tabungan. Bapak memang seorang pekerja keras, tumbuh di keluarga yang juga sederhana dan menjadi kakak tertua bagi adik – adiknya menjadikan bapak adalah laki – laki yang mandiri dan dewasa, pemimpin yang demokratis. Masih ingat kuat di pikiranku, kebiasaan bapak dan keseharian nya yang berdampak bagi seluruh anggota keluarga. Saat pagi – pagi tiba bapak sudah harus bersiap ke sawah dengan sepeda nya yang sudah berkarat namun tetap terawat, anak – anak nya pergi ke sekolah dan ibu juga berangkat untuk mengajar. Dan saat sekitar jam 9.00 pagi bapak sudah harus dirumah. Dan kembali ke sawah setelah dhuhur atau setelah mas Eko dan mbak Dewi pulang dari sekolah. Jika bapak tidak pulang maka siapa yang akan membukakan pintu rumah untukku. Karena waktu itu aku masih terlalu kecil untuk membawa kunci rumah sendiri. Namun kadang jika ada sesuatu misalnya sedang musim panen, atau musim tandur (awal menanam padi). Bapak tidak bisa melakukan itu, karena tanaman harus segera dipanen dan ibu bapak memilih untuk tidak mencari pekerja untuk meringankan pekerjaan panennya. Dengan perhitungan, jika mengunakan pekerja maka akan menambah pengeluaran, kalau sudah begitu maka ibu biasanya menitipkan semangkuk nasi dan sayur dan pakaian ganti untukku pada tetangga, untuk makan setelah aku pulang sekolah dan pakaian ganti untuk menganti seragam yang aku pakai. Mataku berkaca ketika mengingat keadaan itu... Itu juga yang dialami kakak – kakakku sebelumnya. Hal Itu ibu lakukan saat pagi sebelum berangkat mengajar. Setelah sekitar jam 10 atau 11 baru mas Eko dan mbak Dewi pulang sekolah, saat itu baru aku bisa masuk rumah karena mas Eko yang sudah diberi tanggung jawab mambawa kunci rumah. Semua diatur agar tidak saling merugikan, berjalan dengan baik dan harus saling pengertian.

Bapak adalah seorang yang memiliki watak yang keras, beliau mendidik anak – anak untu menjadi anak – anak yang bertanggung jawab, baik, taat, patuh, mengerti akan kemampuan orang tuanya dan tidak neko - neko. Tak segan bapak memberikan pelajaran dengan keras kepada anak – anaknya jika anak – anaknya tidak patuh dan berlaku salah. Dengan maksudnya yang baik tentunya.. Aku sangat mengingat, betapa kerasnya bapak mendidik sehingga membuatku sangat patuh, aku ingat sering ketika aku berbuat salah, atau bertengkar dengan teman bapak hanya memberikan tatapan tajam dari arah yang jauh, itu saja sudah membuatku merasa bersalah dan takut. Hanya sebuah tatapan mata tajam.. Tetapi dibalik kerasnya watak bapak, beliau juga memiliki watak penyayang, dan perhatian. Demi Allah engkau adalah bapak terhebat....
Masih sangat kuat memori di pikiranku, sadar bahwa membeli mainan untuk anaknya hanya akan membuang uang dengan sia – sia, beliau mengantikan mainan – maninan itu dengan mainan – mainan buatan tangannya sendiri. Mainnya yang dibuatnya diwaktu – waktu istirahat siang di sawah, atau ketika sore hari di rumah, sama sekali tidak menyita waktu bekerjanya. Bahkan aku masih ingat betul, ketika beliau membuatkan layang – layang besar berukuran 1 m x 70 cm, atau soangan aku menyebutnya, beliau merelakan waktu tidur malamnya untuk memilin benang untuk menerbangkan layang – layang itu. Ya Allah begitu tulus bapak menyayangi aku dan keluarga ini.... Bukan hanya itu, ada banyak mainan yang tercipta dari tangannya yang terampil dan hatinya yang tulus, yang aku ingat beliau pernah membuatkan aku roda (papan yang dibuat melingkar dan diberi poros pada bagian tengahnya), kekehan (gangsing), keris dari kayu. Ibu pernah bercerita tentang ini, ibu berkata beliau sering tidak menuruti ketika anak – anak nya meminta dibeikan mainan. Aku tidak pernah menilai hal itu sebagai tindakan yang salah, aku tahu semua harus prihatin dan “puasa”.

Setelah aku menghabiskan waktu dua tahun di bangku TK, aku melanjutkan sekolah SD seperti anak – anak pada umumnya. Tahun ajaran baru, berarti pengeluaran yang lebih banyak bagi kedua orang tuaku. Syukur Alhamdullilah semua masih bisa di atasi, ada beberapa barang yang di beli, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan. Seperti sepeda untuk kakak dan motor Yamaha warna merah 2 Tak dengan kapasitas mesin 80cc, yang dibeli dari orang lain untuk membantu ibu berangkat ke sekolah. Alhamdulillah.. itu semua dibeli dengan uang tabungan dari hasil panen atau gaji ibu..        

Aku didaftarkan di SDN Balonggebang 1, mengikuti kakak – kakakku sebelumnya, bangunanya terletak di dusun Sawahan, SD ini berjarak sekitar 1 km dari rumah, itu adalah SD terbaik diantara SD yang ada di desa Balonggebang. Jika hanya memilih letak SD yang dekat, sebenarnya ada SDN Balonggebang 2 yang hanya berjarak 100m dari rumah, SD ini bersebelahan dengan TK Dharma Wanita, TK dimana aku menghabiskan masa kecilku. Atau ada pilihan lain, yaitu SDN Balonggebang 3 yang hanya 500m dari rumah. Tapi ibu tidak memilih menyekolahkanku di SD tersebut, ibu dan bapak selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak – anaknya. Bahkan ibu tidak memilih agar aku ikut belajar di SD dimana beliau mengajar. Aku pernah pertanya soal itu, dan beliau menjawab “ tak akan menjadi pandai jika kamu hanya diajar oleh orang tuamu..” Aku tak protes dimana aku akan di sekolahkan. to be continue..

1 komentar:

  1. Makanya inget jasa orangtua...kadang kala kita hanya konsen sama pengorbanan dari ibu,tapi kenyataannya pengorbanan ayah juga tidak kalah besar....namun yang jadi pertanyaanku, kenapa ya sifat sayang dari seorang ayah selalu disembunyikan?????Apa jaga image ya didepan anak....ane juga ga ngerti,yang jelas ane nanti akan merubah persepsi itu ketika aku jadi ayah.....

    BalasHapus